Pages

Tampilkan postingan dengan label kain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kain. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Oktober 2014

Sejarah Songket


Sejarah kain songket berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya dan kawasan permukiman dan budaya Melayu, serta diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Sementara, Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India.

Kain songket memiliki kaitan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik.

Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas awal tahun 600-an hingga 700-an M. Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang lama di Sumatera.

Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif, memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. 

Songket



Songket merupakan jenis kain tenun tradisional Melayu dan Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Songket merupakan kain yang ditenun dengan menggunakan benang emas atau benang perak. Selain benang emas atau perak, ada jenis benang sutera yang berwarna, ada yang menggunakan benang sulam, ada yang menggunakan benang katun berwarna dan sebagainya. Tetapi semua jenis benang tersebut dipergunakan untuk menghias permukaan kain tenun, bentuknya seperti sulaman dan dibuat pada waktu yang bersamaan dengan menenun dasar kain tenunnya.

Prinsip penggunaan benang tambahan saat menenun disebut songket, karena dihubungkan dengan proses menyungkit atau mengjungkit benang lungsi dalam membuat pola hias. Kata “Songket” itu sendiri berasal dari kata “Tusuk“ dan “Cukit“ yang diakronimkan menjadi “Sukit” kemudian berubah menjadi “Sungki”, dan akhirnya menjadi “ Songket”. Dulunya, songket hanya digunakan oleh para bangsawan untuk menunjukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya, apalagi menilik bagaimana cara membuatnya serta bahan-bahan yang dipakai. Akan tetapi, sekarang songket bisa dipakai untuk berbagai golongan dengan harga yang bervariasi.

Sejarah kain songket berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya dan kawasan permukiman dan budaya Melayu, serta diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Sementara, Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. 

Kamis, 23 Oktober 2014

Kain Ikat



Tenun ikat atau kain ikat adalah kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami. Alat tenun yang dipakai adalah alat tenun bukan mesin. Kain ikat dapat dijahit untuk dijadikan pakaian dan perlengkapan busana, kain pelapis mebel, atau penghias interior rumah.

Kain tenun ikat merupakan salah satu seni kebudayaan warisan generasi terdahulu yang memiliki keunikan, nilai seni serta nilai sejarah. Kain tenun ikat sangat diminati oleh masyarakat terutama wisatawan mancanegara, karena dalam proses pembuatannya kain tenun ikat memiliki kesulitan serta keunikan tersendiri dibandingan dengan kain tenun lain.

Sebelum ditenun, helai-helai benang dibungkus (diikat) dengan tali plastik sesuai dengan corak atau pola hias yang diingini. Ketika dicelup, bagian benang yang diikat dengan tali plastik tidak akan terwarnai. Tenun ikat ganda dibuat dari menenun benang pakan dan benang lungsin yang keduanya sudah diberi motif melalui teknik pengikatan sebelum dicelup ke dalam pewarna. Peralatan yang digunakan dalam membuat kain tenun masih menggunakan bahan dari alam yang tersedia di lingkungan pemukiman seperti dengan menggunkan kayu ulin, rotan, dan bahan lainnya.

Kain tenun ikat khas Indonesia yang terkenal berasal dari daerah NTT, Jepara, Lombok, dan Sumbawa. Jenis kain ini ditenun dengan benang pakan atau lungsin yang udah diikat serta dicelupkan ke zat pewarna alami. Kain ikat agak mirip seperti kain songket. Yang membedakannya adalah motif kain songket cuma terlihat satu sisi, sedangkan motif kain ikat terlihat dari dua sisi.

Kain Tapis


Kain tapis adalah pakaian wanita suku Lampung berbentuk kain sarung yang terbuat dari tenunan benang kapas dengan motif atau hiasan yang disulam (dicucuk) dengan benang emas, benag sugi,  atau benang perak. Pada awalnya, kain tapis dibuat dari bahan-bahan yang digunakan adalah benang kapas. Proses selanjutnya, kain dicelupkan dalam zat pewarna dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat disekitarnya.

Kemudian tenunan yang sederhana tadi ditambah hiasan-hiasan yang tertera pada hasil tenunan suku Lampung. Ragam hias ini terdapat pula pada permukaan Nekara Perunggu dengan motif spiral, meander, garis lurus, tumpal, lingkaran dan lain-lain. Selain itu, dalam kain tapis Lampung juga kita jumpai ragam hias yang berupa binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Namun, semakin lama, ragam hias kain tapis semakin berkembang. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur baru dalam ragam hias yang timbul pada periode Hindu Indonesia, yaitu menggunakan unsur-unsur flora. Kemudian ada lagi pengaruh dari Buddha dan Islam, yang menambah kekayaan ragam hias kain tapi Lampung.

Unsur-unsur baru tersebut memperkaya ragam hias, akan tetapi unsur-unsur yang lebih dahulu ada tidak dihilangkan. Misalnya motif segi tiga tumpal yang sudah dikenal sejak periode prasejarah tetap terdapat pada ragam hias Hindu yang melambangkan Dewi sri, dewi padi dan dewi kemakmuran. Bentuk tumpal merupakan bentuk sederhana dari pucuk rebung (anak pohon bambu muda) yang melambangkan berbagai segi kekuatan yang tumbuh dari dalam, dan ada juga yang menyatakan bentuk segi tiga abstrak dari bentuk orang.



Ragam hias kain tapis semakin berkembang dengan masuknya berbagai kebudayaan ke Nusantara berabad-abad silam. Motif-motif yang awalnya berupa motif di masa animisme-dinamisme, kini mendapat pengaruh dari agama Hindu, Buddha, maupun Islam. Masing-masing memberikan ciri dan memperkaya ragam hias, dengan tidak menghapus jejak ragam hias sebelumnya.

Unsur-unsur baru tersebut memperkaya ragam hias, akan tetapi unsur-unsur yang lebih dahulu ada tidak dihilangkan. Misalnya motif segi tiga tumpal yang sudah dikenal sejak periode prasejarah tetap terdapat pada ragam hias Hindu yang melambangkan Dewi sri, dewi padi dan dewi kemakmuran. Bentuk tumpal merupakan bentuk sederhana dari pucuk rebung (anak pohon bambu muda) yang melambangkan berbagai segi kekuatan yang tumbuh dari dalam, dan ada juga yang menyatakan bentuk segi tiga abstrak dari bentuk orang.

Bentuk spiral dan meander mempunyai arti sebagai perlambangan pemujaan matahari dan alam. Bentuk ragam hias pohon hayat merupakan kepercayaan yang universal, sesuai kepercayaan yang terdapat dalam agama Hindu, Budha, Kristen maupun Islam, dimana pohon hayat ini melambangkan kesatuan dan keesaan Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Bagian kain tenun yang disulam biasanya hanya pada bagian pinggang ke bawah. Sementara sekitar 20 cm bagian atas tidak disulam karena biasanya tertutup oleh baju. Biasanya bagian ini dipakai untuk tempat mengikat pinggang sehingga kain tapis tidak melorot ketika dikenakan.

Sejak zaman dulu, tapis tidak pernah lepas dari wanita Lampung. Selain para pemakainya adalah wanita, kain tradisional khas Lampung itu juga dibuat oleh para wanita, baik para ibu rumah tangga maupun para gadis. Awalnya, kain tapis dibuat para ibu rumah tangga dan para gadis untuk mengisi waktu luang. Dengan tekun mereka menyelesaikan satu kain tapis hingga berhari-hari, bahkan sampai hitungan bulan. Pada mulanya mereka membuat kain tapis untuk kepentingan adat istiadat yang dianggap sakral.


Kain tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional Lampung dalam menyelaraskan hidupnya baik terhadap lingkungannya maupun pencipta alam semesta. Karena itu munculnya kain tapis ini ditempuh melalui berbagai tahapan-tahapan waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.

Rabu, 22 Oktober 2014

Motif-motif Kain Gringsing


Tenun ikat ganda memiliki kerumitan lebih dibanding tenun ikat tunggal biasa. Dalam tenun ikat ganda, motif kain sudah direncanakan sejak pembuatan warna pada benangnya. Dalam seni menenun Gringsing dikenal 2 macam benang, benang vertikal disebut Lusi dan horizontal disebut Pakan. Kedua benang tersebut, vertikal dan horizontal, warna seutas benangnya berbeda-beda, dan harus ditenun agar dapat terbentuk motif yang sudah direncanakan. Dulunya, ada 20 jenis motif kain Gringsing, tapi hingga tahun 2010, yang masih dikerjakan hanya sekitar 14 motif saja. Di antaranya adalah:

1. Lubeng
Lubeng dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).

2. Sanan Empeg
Sanan Empeg dicirikan dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam. Fungsi kain gringsing bermotif ini adalah sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.

3. Cecempakaan
Cecempakaan dicirikan dengan bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh), Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24 benang).

4. Cemplong
Cemplong dicirikan dengan bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai busana adat dan upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40 benang) yang sudah hampir punah.

5. Gringsing Isi
Gringsing Isi motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi hanya untuk sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang).

6. Wayang
Wayang terdiri dari gringsing wayang kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk membentuk sosok wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan tersebut diperlukan ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama pengikatan dan penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.

7. Batun Tuung
Batun Tuung yang dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.

Selain itu, ada lagi beberapa motif Gringsing seperti wayang putri, wayang kebo, dingding sigading, dingsing ai, pepare, pat likur, pedang dasa, semplang, cawet, anteng dan lainnya. Motif-motif itu sendiri penuh dengan simbol-simbol seperti tapak dara (tanda silang) dan lainnya.

Sumber : http://blog.isi-dps.ac.id/samiarsasetiaria/gringsing-kain-dari-zaman-megalitikum

Kain Gringsing



Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Pakar tekstil menyataan bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali.

Kata gringsing berasal dari gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’, sehingga bila digabungkan menjadi ‘tidak sakit’. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.

Pada tahun 1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menyatakan dugaan bahwa masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan mengembangkan teknik tersebut secara independen di Tenganan. Kemungkinan lain adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia.
 
 
Blogger Templates